Silent Faces, Loud Voices. #MaskOn

I live my life in my maxed up pseudonymity. Ini adalah upaya untuk melindungi identitasku, meskipun ironisnya identitas itu gagal terlindungi oleh negaraku sendiri (well, thanks). Sebagai seseorang yang menerima spam call sampai 20 kali per hari, belum lagi paket COD kosong yang terus berdatangan ke alamat pribadi, rasanya protecting my identity udah nggak relevan lagi jika data pribadiku dipegang oleh pihak yang nggak peduli.

Anyway, di sini aku pengen banget bahas tentang masked musicians, yang sebenernya mirip dengan hidup dengan anonimitas atau pseudonimitas. Fascinating and sometimes… rebellious. Mulai dari kesayangan kita semua, Daft Punk, sampai ke Sleep Party People (yang pernah merajai “The Best of” playlist di early days of shoegaze magic-ku), MF DOOM, Slipknot (duh?), Ghost, dan recent sensation: Glass Beams. Untuk local flavor, ada juga Kuburan Band, Mesin Tempur, dan Sukatani, even I don’t really listen to punk, tapi yang terakhir ini keren as fuck, terutama karena pesan yang mereka sampaikan.

More Than Just a Look

Ketika berbicara tentang musisi bertopeng, kamu langsung diajak masuk ke dunia di mana anonimitas berpadu apik dengan artistry. Ini bukan soal menyembunyikan identitas, tapi justru tentang menciptakan persona. Dulu, Daft Punk nggak tiba-tiba muncul dengan helm; sekarang kita tahu bahwa helm itu adalah bagian besar dari identitas mereka. They’re not just a look, they’re who they are. Helm futuristik ikonik itu mengalihkan fokus dari identitas personal dan lebih menekankan musikalitas serta visi artistik yang mereka bangun. And it works. Big time! (Siapa yang sedih ketika Daft Punk memutuskan untuk bubar?) Begitu pula dengan MF DOOM, Slipknot, dan Ghost, yang memakai topeng untuk menambah aura misteri sehingga karya merekalah yang bicara sendiri.

Lebih dari itu, dengan tetap bertopeng, artis bisa memisahkan kehidupan pribadi dari persona di atas panggung. Ini masuk akal, mengingat nggak semua musisi ingin kehidupan pribadinya terekspos. Most of them don’t even want to be famous; they just wanna be heard. Selain itu, topeng menciptakan ruang aman untuk eksplorasi kreatif, sehingga pesan yang mereka bawa bisa tersampaikan tanpa takut represi dari pihak manapun.

“They deem things to be offensive — songs, movies, words, phrases — when what’s really offensive is b0mbs and bullets.”

Robert ‘3D’ Del Naja, Massive Attack

Gak cuma itu, bagi banyak band, memakai topeng bukanlah soal ‘bersembunyi’, melainkan sebagai alat untuk mendekonstruksi identitas. Dengan memakai topeng, musisi menantang konsep diri yang dibentuk oleh sistem: mengalihkan fokus dari identitas pribadi ke karya dan ide yang jauh lebih besar. Topeng memungkinkan mereka menciptakan persona kolektif yang mewakili perlawanan terhadap sistem yang cenderung mengkomersialkan identitas, sehingga identitas itu diubah menjadi produk, bukan lagi karya seni itu sendiri. Kasarnya, memakai topeng adalah upaya radikal untuk menggeser fokus dari “siapa yang berdagang” ke “apa yang didagangkan,” mendefinisikan ulang makna keberadaan dan peran seni sebagai pesan serta pernyataan politik, sosial, atau bahkan eksistensial.

Selain itu, topeng juga menambahkan lapisan teatrikal dalam live shows sehingga penampilan menjadi lebih unik dan menarik. Dari konsep yang mungkin awalnya hanya bisa dikemas dalam lagu, musisi bertopeng bisa dengan leluasa immerse dalam musik yang mereka ciptakan, sehingga hubungan mereka dengan pendengar menjadi semakin dekat.

Bagaimanapun alasannya, aku rasa ketika wajah disembunyikan, perhatian akan bergeser ke musik, lirik, dan keseluruhan performa.

Respecting the Right to Mask

Intinya, pahami bahwa topeng itu jauh lebih dari sekadar aksesori. Ia menyimbolkan pseudonimitas, pemberontakan, misteri, bahkan penolakan terhadap norma yang ada. This is the identity they CHOSE to carry, and we should respect it. Boleh aja penasaran, but the relationship between the musicians we love and us isn’t skin deep; it’s way deeper than that.

What If the Mask Is Forced Off?

Bayangin kalau ada pihak tertentu yang mencoba memaksa musisi untuk membuka topeng demi keuntungan atau kontrol. Ini terkesan seolah-olah menghabisi persona yang telah diciptakan, bukan? Bukan cuma itu, privasi individu juga terluka, sehingga batas antara suara yang dilantangkan di panggung dan kehidupan ‘normal’ mereka menjadi blur. When your chosen identity is stripped away, you’re only left with your bare, true self… and that’s just cruel.

Sebagai penikmat musik, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

  • Suarakan dukungan: Dukung musisi yang haknya direnggut secara paksa. Gunakan media sosial, forum, atau cara lain untuk mengedukasi bahwa kebebasan berekspresi (terutama yang mengandung kritik tajam) adalah hal yang perlu dilindungi.
  • Edukasi orang lain: Jelaskan bahwa topeng bukan cuma aksesori atau cara tampil beda, tapi bagian fundamental dari persona dan ekspresi seni mereka.
  • Sebarkan karya mereka: Putar lagu-lagu mereka di mana saja supaya pesan yang ingin disampaikan bisa didengar sebagaimana mestinya.

In a Nutshell

Musisi bertopeng, dari Daft Punk dan MF DOOM, intensitas Slipknot dan Ghost, hingga inovasi Glass Beams, Kuburan Band, Mesin Tempur, dan Sukatani, menggunakan topeng untuk menciptakan ruang di mana seni bisa berbicara lebih keras daripada identitas. Dengan merangkul dan melindungi hak untuk bertopeng, kita nggak hanya menghargai karya mereka, tetapi juga memastikan bahwa musik tetap menjadi ruang di mana ekspresi, misteri, dan pemberontakan bisa tumbuh.

So next time you see a masked performer, remember: behind that mask is an artist who has chosen a path less ordinary, and it’s up to us to respect and protect that choice. More importantly, remember, do not strip off that right.


This blog post is dedicated to Sukatani: in support of their movement, their music, and the sacred identity they embody. Listen to their songs here:

More Reading

Post navigation